Ngidam Kamera DSLR, Akhirnya Kesampaian Juga

Jepretan awal di Octagon

Panas menyengat langsung berganti mendung.
Sesampai di kost aku cuma ganti baju dan menaruh laptop di ransel untuk bersiap keluar lagi.
Teman-teman kost lagi pada istirahat, untung ada satu orang yang tidak tidur.
Jadi aku memberitahu dia kalau mau keluar dan mungkin mau menginap di rumah teman.

Menunggu sebentar, tidak lama ojek online yang aku booking sudah tiba dan aku langsung meluncur ke stasiun Kemayoran.
Aku janjian sama teman  untuk ketemu di sana karena mau minta ditemani ke Octagon untuk beli kamera.
Sudah lama aku ngidam kamera untu memotret tetapi selalu ada saja keperluan lain yang lebih mendesak.
Jadi selalu tertunda terus untuk membeli kamera idaman, setelah selama ini hanya bisa googling segala macam merek dan tipe kamera.

Pilihan yang paling realistis untuk dicapai kantong adalah Canon EOS700D.
Inginnya sih type yang lebih diatasnya lagi, tetapi kantong sudah kempes setelah 3 minggu ikut diklat ambil 5 certificate baru.
Jadi inipun sangat dipaksakan saja karena sudah lama aku ngidam pengin punya kamera DSLR.
Masa pake kamera Android terus.

Sampai di stasiun Kemayoran sudah hujan dan mas Rachmad belum tiba, terpaksa aku harus menunggu sejenak.
Mas Rachmat tiba saat hujan sudah mulai agak reda, tapi kami naik taksi saja ke tempat tujuan.
Ternyata taksi online ada juga yang berlagak bego kayak taksi biasa, sudah tahu ada peta online yang diikuti untuk belok kiri tetapi dia malah berbelok kanan menjauh dari tempat tujuan.
Terpaksa kami langsung saja minta berhenti dan melanjutkan dengan jalan kaki.

Sudah agak sore kami tiba di tokonya dan setelah basa-basi langsung memilih kamera yang dimaksud.
Aku suruh mas Rachmat saja yang mengetes kameranya karena aku memang masih belum menguasai fitur-fiturnya,
Itulah alasan sebenarnya aku minta ditemani untuk membelinya.
Karena sudah menjelang magrib, kami tidak berlama-lama di situ, segera aku selesaikan pembayarannya dan kami langsung pulang ke kantor Wikimedia Indonesia di jalan Pati.
Rencananya aku mau nginap dulu di sini.

Masjid Al-Alam Marunda

Gerbang masjid Al-Alam yang langsung berhadapan dengan rumah penduduk

Jum'at, tanggal 07 Oktober 2016 aku berkunjung lagi ke Museum Rumah Singgah Si Pitung di Marunda.
Ada beberapa foto yang kurang bagus pada hasil kunjungan pertama kemarin dan aku ingin mengulangi untuk memotretnya lagi.
Maklum memotret dengan kamera handphone, tetap terbatas hasilnya walaupun sudah berusaha sebaik mungkin.

Menjelang waktu sholat jum'at barulah aku beranjak pulang dari sana.
Suara pengajian dari masjid sudah terdengar dan tidak lama lagi masuk waktunya sholat.
Aku berjalan kaki mengikuti orang-orang kampung yang bersepeda motor menuju ke masjid terdekat.
Ternyata yang dituju adalah Masjid Al-Alam yang masih merupakan salah satu cagar budaya di Marunda.
Segera aku menuju tempat berwudhu dan berbaur dengan para jamaah.

Bangunan induk Masjid Al-Alam
Karena datangnya terlambat tentu saja kebagian tempat di belakang.
Bagian belakangnya adalah pendopo sedangkan bagian depan adalah bangunan induk masjid.
Masjid ini memang tergolong kecil sehingga ditambah dengan pendopo untuk menampung jamaah yang tentu makin bertambah setiap saat.
Di pendopo tampak ada sebbuah beduk dari kayu.
Sedangkan bangunan induknya kelihatannya masih mempertahankan bangunan lama dengan pemugaran yang tidak banyak merombak keasliannya.

Setelah selesai sholat jum'at aku sempatkan mengobrol dengan jamaah orang tua yang masih bertahan di masjid.
Dan setelah meminta ijin, aku menyempatkan untuk masuk ke bangunan induk yang disebutkannya untuk memotret bagian dalamnya.

Tampak yang masih terpelihara keasliannya adalah mihrab dan mimbar khutbah serta pilar-pilar di dalam ruangannya.

Ruang sholat utama Masjid Al-Alam
Mimbarnya sederhana dengan dilengkapi tiga anak tangga, ada tulisan kaligrafi yang melengkung diatasnya dan sebuah jam duduk di sebelah kirinya.
Mihrabnya beralaskan sajadah dan di depannya ada ukiran kaligrafi.
Ruangannya dialasi dengan karpet berwarna merah dan ada empat pilar putih berukir sederhana menyangga ruangan yang tingginya mungkin kurang dari 3 meter itu.
Setelah memotret bagian-bagian yang dianggap penting, aku kembali ke STIP Marunda karena masih ada masalah administrasi diklat yang masih harus diselesaikan.

Pendopo Masjid Al-Alam

Mohammad Husni Thamrin


Rasa keadilan yang dibangun dewasa ini sangatlah sulit untuk dicari.
Kepercayaan kepada putusan pengadilan termasuk salah satu sandaran utama negara yang sangat penting, tetapi dengan banyaknya keraguan terhadap kenetralan institusi pengadilan, negara akan kehilangan salah satu pilar terkuat untuk memelihara kedaulataan hukum. (MH. Thamrin – Hendelingen Volksraad, 1930-1933)



Itulah kalimat yang aku dapati terukir di bawah monument Mohammad Husni Thamrin yang berada di median ujung barat Jalan Medan Merdeka Selatan, di sisi timur air mancur Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat.
Mohammad Husni Thamrin adalah salah seorang tokoh pergerakan nasional dan pahlawan nasional Indonesia, lahir di Jakarta, 16 Februari 1894 dan meninggal 11 Januari 1941.